5 Mitos dan Fakta Epilepsi yang Perlu Dipahami

Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis yang sering kali disalahpahami oleh masyarakat. Meskipun kondisi ini cukup umum, namun banyak mitos yang beredar, sehingga dapat menimbulkan ketidakpahaman dan stigma terhadap penderita epilepsi. Dalam artikel ini, kita akan mengungkap beberapa mitos yang sering berkembang mengenai epilepsi, serta fakta medis yang perlu dipahami untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan akurat tentang kondisi ini.

  1. Epilepsi Tidak Hanya Terjadi pada Anak-anak dan Lansia
    Salah satu mitos yang paling umum adalah bahwa epilepsi hanya terjadi pada anak-anak dan lansia. Banyak orang menganggap bahwa usia menjadi faktor utama dalam terjadinya epilepsi. Padahal, epilepsi bisa terjadi pada siapa saja, tidak mengenal batasan usia. Meskipun banyak kasus epilepsi pertama kali muncul pada masa kanak-kanak atau usia lanjut, kenyataannya, kondisi ini bisa terjadi pada individu dari berbagai usia, termasuk usia dewasa muda.

    Data medis menunjukkan bahwa sekitar satu dari seratus orang di dunia berisiko mengalami epilepsi sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa epilepsi bukanlah kondisi yang terbatas pada kelompok usia tertentu.
  1. Penderita Epilepsi Bisa Menjalani Hidup Normal
    Banyak anggapan yang menyatakan penderita epilepsi tidak bisa menjalani kehidupan normal atau aktif, seperti menghindari pekerjaan atau aktivitas sosial. Padahal, dengan pengobatan yang tepat, penderita epilepsi bisa menjalani hidup seperti orang lainnya.

    Dengan pengelolaan yang baik, banyak penderita epilepsi yang sukses berkarir, bersekolah, bahkan berkeluarga. Pengobatan bertujuan mengontrol serangan, membantu mereka menjalani kehidupan lebih baik, meski kondisi ini tidak selalu bisa disembuhkan sepenuhnya. Pengelolaan yang tepat dapat mengurangi frekuensi serangan dan meningkatkan kualitas hidup.
  1. Tidak Semua Serangan Epilepsi Menyebabkan Kejang Kelojotan
    Epilepsi sering dikenal melalui gambaran kejang tonik-klonik atau sering disebut kelojotan. Namun, sebenarnya ada berbagai jenis serangan epilepsi lainnya, termasuk yang lebih ringan, seperti kehilangan kesadaran sementara atau kebingungan.

    Serangan ini bisa terjadi tanpa kejang kelojotan, bahkan dengan gerakan tubuh yang tidak terkendali atau perubahan perilaku. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bahwa epilepsi tidak selalu berarti kejang besar, dan gejalanya bisa bervariasi tergantung jenis epilepsi yang dialami.
  1. Penderita Epilepsi Dapat Berolahraga dengan Aman
    Masyarakat sering beranggapan bahwa penderita epilepsi tidak boleh berolahraga. Padahal, olahraga memberikan manfaat besar, seperti mengurangi stres, meningkatkan kualitas tidur, dan menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan. Aktivitas fisik yang teratur juga dapat mengurangi risiko serangan akibat stres berlebihan.

    Namun, jenis olahraga yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi penderita. Sebaiknya, konsultasikan dengan dokter sebelum memulai rutinitas olahraga, terutama bagi yang kondisinya belum terkontrol. Berjalan kaki, atau yoga bisa menjadi pilihan yang aman dan bermanfaat.
  1. Epilepsi Bukanlah Gangguan Mental
    Epilepsi sering disalahpahami sebagai gangguan mental, padahal itu adalah kondisi neurologis akibat gangguan pada otak. Epilepsi bukanlah tanda kelemahan mental atau masalah psikologis.

    Beberapa penderita mungkin merasa cemas atau terisolasi karena stigma sosial. Oleh karena itu, penting untuk memahami kondisi ini dengan benar agar penderita merasa didukung dan diterima, serta menghilangkan stigma yang salah agar mereka dapat hidup dengan lebih tenang.

BACA JUGA: Serba Serbi Epilepsi

Pengelolaan Epilepsi Melalui Pengobatan dan Dukungan yang Tepat

Penting untuk diingat bahwa epilepsi adalah kondisi yang dapat dikelola dengan baik melalui pengobatan yang tepat. Deteksi dini dan konsultasi medis sangat penting untuk memastikan pengobatan yang sesuai dan mengurangi dampak serangan pada kehidupan sehari-hari. 

Pengobatan epilepsi biasanya melibatkan pemberian obat antiepilepsi, namun bagi sebagian orang, terapi lain seperti diet ketogenik atau pembedahan juga dapat menjadi pilihan. Setiap penderita epilepsi memiliki kebutuhan medis yang berbeda, sehingga pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik masing-masing individu.

Penderita epilepsi juga memerlukan dukungan emosional yang baik dari keluarga, teman, dan tenaga medis untuk mengatasi dampak psikologis yang mungkin timbul akibat penyakit ini. Dengan dukungan yang tepat, penderita dapat mengatasi rasa cemas atau depresi dan menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Mengurangi Stigma Epilepsi dengan Pemahaman yang Tepat

Epilepsi adalah gangguan neurologis yang dapat terjadi pada siapa saja dan memerlukan pengelolaan medis yang tepat. Meskipun banyak mitos yang beredar mengenai epilepsi, pemahaman yang benar tentang kondisi ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan mengurangi stigma yang tidak berdasar. Dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat, dan dukungan yang baik, penderita epilepsi dapat hidup dengan normal dan produktif.

Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami gejala epilepsi, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan tenaga medis profesional untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.

Artikel ditulis oleh dr. Nadia Devianca, Sp.N (Dokter Spesialis Neurologi / Saraf RS EMC Pulomas).